Lanjut ke konten

Jika Orang yang Jatuh Cinta Bisa Memilih

April 13, 2007

Waktu kecil saat liburan, saya sering ke rumah famili di kota sebelah yang terhitung masih kakek nenek saya. Jarak beberapa rumah dari rumah famili saya tersebut, tinggallah seorang tua yang konon juga masih terhitung kakek saya. Kami memanggilnya Eyang Gus.
Eyang Gus mempersilakan siapa saja bertandang dan bermain di rumahnya, termasuk anak-anak kecil seperti saya waktu itu. Dia selalu menyediakan minuman dan makanan bagi kami.
Ada yang terasa aneh dengan Eyang dan rumahnya. Rumah itu terlalu sepi. Hanya Eyang saja yang tinggal di rumah itu. Saya tak tahu ada apa dengan hal itu. Walau hati bertanya, saya menikmati di rumahnya yang kuno, berhawa dingin, penuh furniture kuno, dan buku-buku berbahasa Belanda.
Setelah agak besar, saya mendapat penjelasan dari kakak saya; penjelasan tentang kehidupan Eyang yang sepi di rumah yang dingin itu. Konon, di masa mudanya Eyang pernah jatuh cinta kepada seorang gadis dan menjalin hubungan cinta dengan gadis tersebut. Begitu cintanya Eyang kepada gadis itu hingga dia memutuskan untuk menikahinya. Sayang, niat itu tak kesampaian. Cintanya tak berakhir di pelaminan. Saking cintanya terhadap gadis itu, Eyang tak menjalin hubungan cinta dengan gadis lain lagi. Eyang tak pernah menikah seumur hidupnya.
Saat saya kuliah, sebuah buku menarik tentang cinta diterbitkan. Aslinya, buku ini berjudul Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Mustasyqin, karya seorang ulama, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Judul terjemahnya tak berusaha mengganti judul aslinya, Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu.
Ada beberapa ungkapan menarik tentang cinta yang masih saya ingat-ingat dari buku itu. Salah satunya adalah, jika orang yang jatuh cinta bisa memilih maka ia akan memilih untuk tidak jatuh cinta.
Cinta merupakan atribut kehidupan manusia. Pun cinta kepada lawan jenis. Ia adalah fitrah hiasan umat manusia. Seorang yang bernama manusia akan dan pernah jatuh cinta kepada manusia lain. Ini adalah sesuatu yang tak bisa kita tolak.
Lalu mengapa memilih untuk tidak jatuh cinta? Jatuh cinta kok tidak dipilih? Cinta kan indah dan menyenangkan? Awal dari cinta memang merupakan keindahan. Namun pertengahan cinta adalah kegelisahan. Orang yang dimabuk cinta pastilah pernah merasakan penderitaan kegelisahan ini. Gelisah karena menahan beratnya kerinduan. Gelisah akan ketidakpastian apakah orang yang ia cintai benar-benar akan menjadi miliknya. Gelisah ketika orang yang ia cintai ternyata bisa menyakiti.
Seorang penyair bersenandung, “Tak seorang pun di muka bumi yang lebih sengsara dari seorang yang dilanda cinta, meskipun ia mendapati cinta itu manis rasanya. Setiap saat engkau lihat ia selalu menangis, entah karena enggan berpisah atau karena rindu yang membara. Jika sang kekasih jauh, ia menangis karena rindu, jika dekat ia menangis karena takut berpisah.”
Bahkan akhir cinta bisa merupakan kehancuran. Konon, tersebutlah kisah cinta seorang pemuda bernama Qais yang tergila-gila terhadap seorang gadis bernama Laila. Akhir nasib Qais begitu mengenaskan. Ia menjadi gila karena cintanya kepada Laila. Cerita Eyang Gus saya adalah episode lain dari akhir tragis sebuah kisah cinta.
Kegelisahan dan kehancuran inilah yang membuat cinta tidak dipilih. Sayang, orang yang jatuh cinta tak bisa memilih untuk tidak jatuh cinta. Cinta datang begitu tiba-tiba. Kedatangan cinta membuang kesadaran jauh ke belakang. Ketika kesadaran itu kembali mendatangi, sadarlah orang yang jatuh cinta bahwa dirinya sudah terjerat cinta. Ada ungkapan, cinta itu bertindak dulu baru berpikir. Betul juga.
Cinta memang tidak bisa ditolak. Datangnya cinta memang begitu tiba-tiba. Datangnya cinta bukanlah sebuah dosa. Abu Muhammad bin Hazm berkata, ada seorang laki-laki berkata kepada Amirul-Mukminin, Umar bin Al-Khaththab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya saya melihat seorang wanita lalu saya sangat cinta kepadanya.” Umar berkata, “Itu adalah sesuatu yang tak mungkin dibendung.”
Kedatangan cinta hanya perlu disikapi dengan bijak. Cinta hanya perlu diatur, dimanajemen. Manajemen cinta kepada lawan jenis yang terbaik adalah dengan menikahi orang yang dicintai. Jika belum mampu, puasa, menahan diri dalam bergaul dengan lawan jenis adalah solusinya.
Saya tak tahu bagaimana hati Eyang Gus menjalani hidupnya. Apakah kegelisahan cinta itu masih ada dalam hatinya, dalam hari-hari kehidupannya. Apakah ada kehancuran yang disembunyikan di balik dinding-dinding rumah yang dingin itu. Saya tak tahu. Saya menghargai kesetiaan orang yang mencintai, namun bagi saya kesetiaan seperti itu tidaklah perlu diwujudkan dengan hidup membujang hingga akhir kehidupan. Jika merajut cinta berumah tangga disikapi sebagai ibadah, tentu kesetiaan cinta tak menghancurkan jiwa.
Eyang Gus telah meninggal. Tak meninggalkan istri apalagi keturunan. Sudah sekitar dua puluh tahun saya tak bertandang ke rumah itu. Terakhir, rumah itu diurusi oleh keluarga famili saya. Rumah dingin itu menjadi saksi kehidupan seorang lelaki dengan kesetiaan mencintai. Rumah itu seakan bercerita, “Aku adalah saksi, bahwa orang yang jatuh cinta tak bisa memilih untuk tidak jatuh cinta.”(*)

3 Komentar leave one →
  1. April 14, 2007 4:50 pm

    Jadi, jatuh cinta adalah “takdir” yang ditentukan sepenuhnya oleh Tuhan, sedangkan manusia tidak berperan sama sekali?
    peran manusia pun sebenarnya adalah takdir. bukan berarti jabariyahistik. manusia bisa berperan, manusia bisa memilih, tapi pilihannya sendiri sudah ditakdirkan. mungkin penjelasan ttg takdir yang agak mudah untuk dicerna adalah bukunya syekh utsaimin, qadha dan qadar itu. mungkin ustadz shodiq dah tahu ya…

  2. mms permalink
    Mei 11, 2007 8:40 am

    subhanallah…
    cinta memang sungguh indah dan menyenangkan bila diatur dan dikendalikan dengan baik…
    jazakallah…

  3. atri permalink
    Januari 17, 2008 6:35 pm

    Cinta sejati hanya diperuntukan untuk-NYa. Jika cinta kepada sesuatu tidak diniatkan untuk-Nya maka cinta tersebut adalah sia-sia.

Tinggalkan Balasan ke M Shodiq Mustika Batalkan balasan